Minggu, Juni 01, 2008

Sekolah Gratis Bukan Mimpi

Empat gigi susu bagian atas seorang bocah mungil terlihat sudah tanggal. Namun, tak membuatnya takut untuk tertawa riang. Begitu gembiranya hingga pipinya menyembul ke atas. Seakan menutup bola matanya yang bersih.

Gadis mungil itu mengenakan baju seragam berwarna putih dan rok merah selutut. Dengan dasi warna merah dan topi merah-putih, ia terlihat semakin ceria. Sepatu kets berwarna hitam turut membantunya melangkahkan kakinya.

Ia gembira kala seorang bapak bertubuh gempal dengan kopiah hitam dan pakaian safari abu-abu, menghampirinya. Kegembiraan kian terpancar dari raut wajah bocah berkulit sawo matang itu. Sang bapak menuntunnya dengan amat lembut. Ia mengajak murid sekolah dasar itu berjalan di depan teman-temannya.

Sambutan meriah pun menggema. Tepuk tangan membahana, seakan tiada henti menyaksikan adegan itu. Murid-murid yang lain berteriak, mengucapkan salam kepada sang bapak. ''Selamat datang, Pak Bupati''.

Sambutan hangat atas kedatangan Bupati Musi Banyuasin (Muba), Alex Noerdin, di sebuah sekolah dasar negeri di Kota Sekayu, Muba, Provinsi Sumatra Selatan (Sumsel). Adegan itu direkam dengan sempurna. Dan, menjadi ikon gambar profil kabupaten itu. Muba Smat 2012. Sejahtera, mandiri, adil, religius, dan terdepan. Itulah moto kabupaten tersebut.

Kegembiraan murid-murid sekolah dasar itu dalam menyambut pemimpinnya bukan tanpa alasan. Karena, di kabupaten nun jauh dari pusat pemerintahan negeri ini, semua anak usia sekolah telah memperoleh pendidikan dengan gratis.

Mulai dari TK hingga SMA. Semua biaya pendidikan ditanggung Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Muba. Hal yang sama juga diberlakukan kepada mahasiswa yang menimba ilmu di Akademi Perawat (Akper) Pemkab Muba dan Poliklinik Sekayu. Program pendidikan gratis ini sudah berlangsung sejak 2002.

Pendidikan gratis tidak hanya dikecap oleh anak-anak sekolah negeri, tetapi anak-anak yang menuntut ilmu di sekolah swasta dan sekolah keagamaan pun mendapat kesempatan dan perlakuan yang sama. Semua mendapat jaminan di dalam bidang pendidikan. Sungguh, Muba telah demikian maju meningalkan 'impian' pemerintah pusat untuk mewujudkan program wajib belajar 9 tahun. Bahkan, Pemkab Muba telah mencanangkan program wajib belajar 15 tahun.

Melihat keberhasilan Kabupaten Muba ini, tak salah jika muncul pendapat bahwa bila ada kemauan dan pemimpinnya memiliki komitmen yang kuat, tidak ada yang tidak mungkin untuk dilaksanakan. Apalagi, hanya sekadar untuk menjalankan program pendidikan nasional secara gratis.

Persoalan pendidikan dalam perspektif Bupati Muba, Alex Noerdin, harus sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah, kata dia, harus memiliki komitmen terhadap kemajuan pendidikan. ''Pemkab Muba sudah menunjukkan bukti otentik. Pendidikan gratis berlangsung tanpa membebani pemerintahan,'' kata Alex kepada rombongan wartawan saat kunjungan ke Pemkab Muba, baru-baru ini.

Unik memang, sebuah pemerintahan dalam wilayah kabupaten sekecil Muba, dapat menggratiskan anak-anak usia sekolah untuk memperoleh pendidikan. Sejak dari TK hingga perguruan tinggi (Politeknik Sekayu dan Akademi Perawat), orang tua siswa tak perlu repot-repot memikirkan biaya pendidikan.

Tentulah tidak berlebihan bila hal itu dikatakan sebagai suatu terobosan yang sangat cerdas dari sebuah kabupaten kecil yang pernah terbelenggu kemiskinan. Sekolah gratis diberlakukan di kabupaten ini sejak Alex Noerdin menjadi bupati Muba.

Sekolah gratis menjadi sebuah model yang begitu besar manfaatnya. Tidak hanya bagi segelintir keluarga, tetapi secara menyeluruh untuk masyarakat Muba tanpa terkecuali. Kebijaksanaan ini telah membantu masyarakat meningkatkan taraf hidupnya.

Masyarakat Muba bisa menikmatinya tanpa harus mengeluarkan uang sepeser pun. Bagaimanapun terobosan yang dilakukan Pemkab Muba ini patut menjadi sorotan. Bahkan, bila perlu menjadi sumber inspirasi pemerintah pusat untuk mengadopsinya. Sehingga, dapat dijadikan tolok ukur dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.

Bagaimana dengan anggarannya? Anggaran dananya diambil dari APBD sekitar 20 persen setiap tahunnya, dari jumlah seluruh APBD yang mencapai Rp 1,5 triliun.

Salah satu bagian terpenting dalam sektor pendidikan yang diperhatikan adalah peningkatan kualitas guru. Para guru diprogramkan wajib kuliah. Angka pesertanya pun cukup besar, yakni mencapai 1.800 orang tenaga guru.

Biayanya gratis karena ditanggung Pemkab Muba. Mereka kuliah di Universitas Terbuka pada tahun ajaran 2007. Baik untuk program D2 maupun S1. Setelah itu, para pendidik tersebut dapat melanjutkan pendidikan hingga S2 dan S3, terutama bagi guru-guru yang berprestasi.

Menurut Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Muba, Ade Karyana, setiap guru diberikan uang makan Rp 6.000/hari. Uang transportasi guru di daerah terpencil sebesar Rp 250.000/bulan. Uang transport, akomodasi, dan konsumsi pun di berikan kepada guru SMA unggulan sebesar Rp 500.000/bulan.

Pada 2007, Kabupaten Muba sudah memiliki sekolah unggulan. Sekolah ini berhasil mengantar sebanyak 60 siswanya masuk secara gratis melalui jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan) ke Universitas Indonesia (UI), ITB, dan beberapa universitas negeri lainnya di Indonesia.

Untuk mendukung pendidikan yang memiliki keunggulan, Pemkab Muba secara bertahap membangun sistem pendidikan unggulan di 11 kecamatan. Artinya, secara bertahap seluruh sekolah di Muba akan disetarakan dengan program unggulan.

Memang, selain dana dari Pemkab Muba, mereka juga didukung Bank Dunia, Unesco, Brithis Council (UK), International Development Partner (IDP) Norway, University of Edinburgh, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan pihak lainnya.

Muba ternyata bisa membuat pendidikan gratis bagi warganya. Mengapa pemerintah pusat tidak bisa?

(gin )
http://202.155.15.208/koran_detail.asp?id=334528&kat_id=3

Mahalnya Sekolah Kami

Mengapa ada profesor dari perguruan tinggi kesohor bisa masuk bui? Mengapa ada jaksa teladan tega menuntut mati sambil melahap suap? Mengapa ada barisan intelektual yang berkhianat menjustifikasi kezaliman atas rakyat?

Di sebuah siang yang berisik, segerombolan bocah usia sekolah mondarmandir di ruang tunggu Stasiun Manggarai, Jakarta Selatan. Penampilan mereka tak karuan. Ada yang kulit tubuhnya belepotan hitam karena kotoran. Ada yang bajunya seperti disengaja disobek compang- camping. Ada yang membawa sapu. Ada pula yang menuntun monyet sembari menenteng gendang kecil.

Salah satu dari mereka sebut saja namanya Anto. Ia mengaku tiap hari ngetem di situ bersama geng-nya. Mereka selalu bersama-sama baik siang maupun malam. Anak-anak belia dari berbagai daerah itu berkelompok lantaran kesamaan nasib.

''Cari uang,'' kata Anto yang mengaku berasal dari Banten, ketika ditanya mengapa ada di sana. Mereka rela meninggalkan rumah untuk sekadar hidup karena kemiskinan yang diderita keluarganya.

''Sekolah? Cape deeh,'' ujar Anto, saat ditanya kenapa tidak belajar seperti teman sebayanya. Tapi, ia dan geng mengaku sebenarnya masih berharap bisa sekolah. Namun lantaran orangtuanya miskin, alih-alih sekolah mereka malah harus menggelandang untuk mendapatkan sekadar uang jajan. Syukur-syukur bisa membawa uang lebih untuk dibawa pulang. Bagi mereka, sekolah mimpi yang sudah basi.

Anto dan lima kawannya yang ada di Manggarai ini hanyalah sebagian kecil potret anak-anak putus sekolah yang harus meninggalkan bangku pendidikan karena keterbatasan. Nasib serupa dialami jutaan anak di Indonesia.

Berdasarkan survei Komnas Perlindungan Anak (PA) di 33 provinsi pada 2007, ada 11,7 juta anak putus sekolah. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yakni 9,7 juta. Ini berarti ada peningkatan sekitar 20 persen. Tahun ini, jumlah itu diperkirakan terus bertambah karena kondisi ekonomi yang terus memburuk.

Menurut Sekjen Komnas PA, Arist Merdeka Sirait, kasus putus sekolah yang paling menonjol tahun lalu terjadi di tingkat SMP, yaitu 48 persen. Tingkat SD 23 persen, sedangkan putus sekolah di tingkat SMA mencapai 29 persen. Kalau digabungkan kelompok usia pubertas (anak SMP dan SMA) jumlahnya mencapai 77%. Dengan kata lain, jumlah anak usia remaja yang putus sekolah tahun lalu tak kurang dari 8 juta orang.

Selain angka putus sekolah, anak yang sekolah pun kini menghadapi kesulitan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pasalnya uang pendidikan kian hari kian mahal. Apakah itu uang pangkal, uang bangunan, uang SPP, dan uang-uang lainnya. Belum lagi untuk masuk ke perguruan tinggi, biayanya selangit. Universitas- universitas yang sudah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) pun mematok uang masuk yang cukup tinggi antara 45-120 juta untuk jurusan-jurusan tertentu. Akibat makin mahalnya biaya pendidikan di perguruan tinggi ini kejadian seperti pada tahun sebelumnya kemungkinan berulang, yaitu adanya beberapa peserta yang dinyatakan lulus SPMB, namun kemudian mengundurkan diri karena tidak mampu menanggung biaya pendidikannya. Kalau sudah begini, bagaimana nasib anak-anak Indonesia? Ke mana mereka?

Padahal, mereka tidak memiliki keahlian apapun. Bekal pengetahuan mereka tidak mencukupi untuk hidup mandiri. Sebagian mereka menjadi anak jalanan. Menurut catatan Komnas Perlindungan Anak, pada tahun 2007 ada 155.965 anak yang hidup di jalanan. Sebanyak 2,1 juta anak menjadi pekerja di bawah umur.

Lainnya tak jelas aktivitasnya. Yang jelas mereka menjadi beban keluarga dan masyarakat. Mereka sangat rawan terjerumus dalam dunia kriminal, narkoba, pelacuran, perdagangan anak, dan sebagainya. Ada pelajaran berharga dari Brasil. Jutaan anak gentayangan di jalanan, menjelma menjadi monster di kota-kota besar maupun kecil. Cukup diberi imbalan 100 dolar, anak-anak itu bisa disuruh membunuh orang dan menjadi kurir narkoba. Mereka bisa membuat keonaran dalam sekejap. Pemerintah kota kewalahan menanganinya. Jalan pintasnya, mereka ditembaki dan dibunuh secara massal.

Sedangkan yang mampu membeli pendidikan, terpicu berorientasi ''balas dendam''. Yakni bagaimana mengejar setoran untuk mengembalikan biaya pendidikan yang sudah mereka keluarkan sebagai modal. Inilah barangkali yang menjelaskan mengapa ada profesor dari Perguruan Tinggi (PT) kesohor bisa masuk bui, mengapa ada jaksa teladan tega menuntut mati sambil melahap suap, mengapa ada barisan intelektual yang berkhianat menjustifikasi kezaliman atas rakyat.

Akar masalah
Mahalnya biaya pendidikan tidak lepas dari upaya liberalisasi yang melanda Indonesia. Hampir semua sektor diliberalkan. Pemerintah sedikit demi sedikit mulai menarik diri dari tanggung jawabnya di dunia pendidikan. Pendidikan didorong untuk mampu membiayai dirinya sendiri. Pemerintah sekadar hanya membantu, bukan penanggung jawab utama. Mengapa pemerintah meminimalkan perannya, bahkan cenderung melepaskan tanggung jawabnya dalam pembiayaan pendidikan?

Ismail Abu Mila, dosen di Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Hamfara Yogyakarta, menyatakan ada beberapa sebab. Pertama, karena pemerintah menggunakan paradigma kapitalisme dalam mengurusi kepentingan dan kebutuhan rakyatnya, termasuk pendidikan. Ideologi kapitalisme memandang bahwa pengurusan rakyat oleh Pemerintah berbasis pada sistem pasar (market based system). Artinya, pemerintah hanya menjamin berjalannya sistem pasar itu, bukan menjamin terenuhinya kebutuhan masyarakat. Dalam pendidikan, Pemerintah hanya menjamin ketersediaan sekolah/PT bagi masyarakat, tidak peduli apakah biaya pendidikannya terjangkau atau tidak oleh masyarakat. Pemerintah akan memberikan izin kepada siapapun untuk mendirikan sekolah/PT termasuk para investor asing.

Anggota masyarakat yang mampu dapat memilih sekolah berkualitas dengan biaya mahal. Yang kurang mampu bisa memilih sekolah yang lebih murah dengan kualitas yang lebih rendah. ''Yang tidak mampu dipersilakan untuk tidak bersekolah,'' katanya.

Kedua, dana APBN tidak cukup mementingkan pos pendidikan. Pasalnya, sebagian besar pos pengeluaran dalam APBN adalah untuk membayar utang dan bunganya. Dalam APBN 2007, misalnya, anggaran untuk sektor pendidikan hanya sebesar Rp 90,10 triliun atau 11,8 persen dari total nilai anggaran Rp 763,6 triliun. (Tempointeraktif. com, 8/1/2007). Sebaliknya, untuk membayar utang pokok dan bunga utang mencapai 30 persen lebih dari total APBN. Inilah yang disebut utang najis yang menurut Koalisi Anti Utang haram dibayar.

Dampak
Hilangnya peran negara dalam pendidikan ini akan berdampak pada munculnya lingkaran setan kemiskinan. Banyak anak generasi yang gagal mengembangkan potensi dirinya sehingga mereka tetap dalam kondisi miskin dan bodoh. Selain itu, masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial-ekonomi. Pendidikan berkualitas hanya bisa dinikmati oleh kelompok masyarakat dengan pendapatan menengah ke atas. Maka, kata bang Rhoma, "yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin." Dampak lainnya, Indonesia akan tetap tercengkeram oleh kapitalisme global, melalui berbagai sektor kehidupan. Inilah yang belakangan kencang digugat Bapak Reformasi Amien Rais.

( Mujiyanto/PF )
http://202.155.15.208/koran_detail.asp?id=334933&kat_id=482