Minggu, Juni 01, 2008

Mahalnya Sekolah Kami

Mengapa ada profesor dari perguruan tinggi kesohor bisa masuk bui? Mengapa ada jaksa teladan tega menuntut mati sambil melahap suap? Mengapa ada barisan intelektual yang berkhianat menjustifikasi kezaliman atas rakyat?

Di sebuah siang yang berisik, segerombolan bocah usia sekolah mondarmandir di ruang tunggu Stasiun Manggarai, Jakarta Selatan. Penampilan mereka tak karuan. Ada yang kulit tubuhnya belepotan hitam karena kotoran. Ada yang bajunya seperti disengaja disobek compang- camping. Ada yang membawa sapu. Ada pula yang menuntun monyet sembari menenteng gendang kecil.

Salah satu dari mereka sebut saja namanya Anto. Ia mengaku tiap hari ngetem di situ bersama geng-nya. Mereka selalu bersama-sama baik siang maupun malam. Anak-anak belia dari berbagai daerah itu berkelompok lantaran kesamaan nasib.

''Cari uang,'' kata Anto yang mengaku berasal dari Banten, ketika ditanya mengapa ada di sana. Mereka rela meninggalkan rumah untuk sekadar hidup karena kemiskinan yang diderita keluarganya.

''Sekolah? Cape deeh,'' ujar Anto, saat ditanya kenapa tidak belajar seperti teman sebayanya. Tapi, ia dan geng mengaku sebenarnya masih berharap bisa sekolah. Namun lantaran orangtuanya miskin, alih-alih sekolah mereka malah harus menggelandang untuk mendapatkan sekadar uang jajan. Syukur-syukur bisa membawa uang lebih untuk dibawa pulang. Bagi mereka, sekolah mimpi yang sudah basi.

Anto dan lima kawannya yang ada di Manggarai ini hanyalah sebagian kecil potret anak-anak putus sekolah yang harus meninggalkan bangku pendidikan karena keterbatasan. Nasib serupa dialami jutaan anak di Indonesia.

Berdasarkan survei Komnas Perlindungan Anak (PA) di 33 provinsi pada 2007, ada 11,7 juta anak putus sekolah. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yakni 9,7 juta. Ini berarti ada peningkatan sekitar 20 persen. Tahun ini, jumlah itu diperkirakan terus bertambah karena kondisi ekonomi yang terus memburuk.

Menurut Sekjen Komnas PA, Arist Merdeka Sirait, kasus putus sekolah yang paling menonjol tahun lalu terjadi di tingkat SMP, yaitu 48 persen. Tingkat SD 23 persen, sedangkan putus sekolah di tingkat SMA mencapai 29 persen. Kalau digabungkan kelompok usia pubertas (anak SMP dan SMA) jumlahnya mencapai 77%. Dengan kata lain, jumlah anak usia remaja yang putus sekolah tahun lalu tak kurang dari 8 juta orang.

Selain angka putus sekolah, anak yang sekolah pun kini menghadapi kesulitan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pasalnya uang pendidikan kian hari kian mahal. Apakah itu uang pangkal, uang bangunan, uang SPP, dan uang-uang lainnya. Belum lagi untuk masuk ke perguruan tinggi, biayanya selangit. Universitas- universitas yang sudah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) pun mematok uang masuk yang cukup tinggi antara 45-120 juta untuk jurusan-jurusan tertentu. Akibat makin mahalnya biaya pendidikan di perguruan tinggi ini kejadian seperti pada tahun sebelumnya kemungkinan berulang, yaitu adanya beberapa peserta yang dinyatakan lulus SPMB, namun kemudian mengundurkan diri karena tidak mampu menanggung biaya pendidikannya. Kalau sudah begini, bagaimana nasib anak-anak Indonesia? Ke mana mereka?

Padahal, mereka tidak memiliki keahlian apapun. Bekal pengetahuan mereka tidak mencukupi untuk hidup mandiri. Sebagian mereka menjadi anak jalanan. Menurut catatan Komnas Perlindungan Anak, pada tahun 2007 ada 155.965 anak yang hidup di jalanan. Sebanyak 2,1 juta anak menjadi pekerja di bawah umur.

Lainnya tak jelas aktivitasnya. Yang jelas mereka menjadi beban keluarga dan masyarakat. Mereka sangat rawan terjerumus dalam dunia kriminal, narkoba, pelacuran, perdagangan anak, dan sebagainya. Ada pelajaran berharga dari Brasil. Jutaan anak gentayangan di jalanan, menjelma menjadi monster di kota-kota besar maupun kecil. Cukup diberi imbalan 100 dolar, anak-anak itu bisa disuruh membunuh orang dan menjadi kurir narkoba. Mereka bisa membuat keonaran dalam sekejap. Pemerintah kota kewalahan menanganinya. Jalan pintasnya, mereka ditembaki dan dibunuh secara massal.

Sedangkan yang mampu membeli pendidikan, terpicu berorientasi ''balas dendam''. Yakni bagaimana mengejar setoran untuk mengembalikan biaya pendidikan yang sudah mereka keluarkan sebagai modal. Inilah barangkali yang menjelaskan mengapa ada profesor dari Perguruan Tinggi (PT) kesohor bisa masuk bui, mengapa ada jaksa teladan tega menuntut mati sambil melahap suap, mengapa ada barisan intelektual yang berkhianat menjustifikasi kezaliman atas rakyat.

Akar masalah
Mahalnya biaya pendidikan tidak lepas dari upaya liberalisasi yang melanda Indonesia. Hampir semua sektor diliberalkan. Pemerintah sedikit demi sedikit mulai menarik diri dari tanggung jawabnya di dunia pendidikan. Pendidikan didorong untuk mampu membiayai dirinya sendiri. Pemerintah sekadar hanya membantu, bukan penanggung jawab utama. Mengapa pemerintah meminimalkan perannya, bahkan cenderung melepaskan tanggung jawabnya dalam pembiayaan pendidikan?

Ismail Abu Mila, dosen di Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Hamfara Yogyakarta, menyatakan ada beberapa sebab. Pertama, karena pemerintah menggunakan paradigma kapitalisme dalam mengurusi kepentingan dan kebutuhan rakyatnya, termasuk pendidikan. Ideologi kapitalisme memandang bahwa pengurusan rakyat oleh Pemerintah berbasis pada sistem pasar (market based system). Artinya, pemerintah hanya menjamin berjalannya sistem pasar itu, bukan menjamin terenuhinya kebutuhan masyarakat. Dalam pendidikan, Pemerintah hanya menjamin ketersediaan sekolah/PT bagi masyarakat, tidak peduli apakah biaya pendidikannya terjangkau atau tidak oleh masyarakat. Pemerintah akan memberikan izin kepada siapapun untuk mendirikan sekolah/PT termasuk para investor asing.

Anggota masyarakat yang mampu dapat memilih sekolah berkualitas dengan biaya mahal. Yang kurang mampu bisa memilih sekolah yang lebih murah dengan kualitas yang lebih rendah. ''Yang tidak mampu dipersilakan untuk tidak bersekolah,'' katanya.

Kedua, dana APBN tidak cukup mementingkan pos pendidikan. Pasalnya, sebagian besar pos pengeluaran dalam APBN adalah untuk membayar utang dan bunganya. Dalam APBN 2007, misalnya, anggaran untuk sektor pendidikan hanya sebesar Rp 90,10 triliun atau 11,8 persen dari total nilai anggaran Rp 763,6 triliun. (Tempointeraktif. com, 8/1/2007). Sebaliknya, untuk membayar utang pokok dan bunga utang mencapai 30 persen lebih dari total APBN. Inilah yang disebut utang najis yang menurut Koalisi Anti Utang haram dibayar.

Dampak
Hilangnya peran negara dalam pendidikan ini akan berdampak pada munculnya lingkaran setan kemiskinan. Banyak anak generasi yang gagal mengembangkan potensi dirinya sehingga mereka tetap dalam kondisi miskin dan bodoh. Selain itu, masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial-ekonomi. Pendidikan berkualitas hanya bisa dinikmati oleh kelompok masyarakat dengan pendapatan menengah ke atas. Maka, kata bang Rhoma, "yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin." Dampak lainnya, Indonesia akan tetap tercengkeram oleh kapitalisme global, melalui berbagai sektor kehidupan. Inilah yang belakangan kencang digugat Bapak Reformasi Amien Rais.

( Mujiyanto/PF )
http://202.155.15.208/koran_detail.asp?id=334933&kat_id=482

Tidak ada komentar: