Senin, Mei 26, 2008

Gawat!! Angka Putus Sekolah masih tinggi

Jakarta, Kompas - Setiap tahun sekitar 211.643 siswa SMP dan madrasah tsanawiyah atau MTs di berbagai pelosok Tanah Air putus sekolah karena sejumlah faktor. Selain itu, sekitar 452.000 tamatan SD dan madrasah ibtidaiyah atau MI tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Menurut Suyanto, salah satu penyebab tingginya angka putus sekolah adalah di kalangan masyarakat yang masih miskin, siswa secara ekonomi menjadi tulang punggung keluarga. ”Jika anak pergi ke sekolah, penghasilan keluarga menjadi menurun karena berkurangnya sumber pencari nafkah,” katanya.

Selain itu, ada pula persoalan kultur, yakni motivasi menyekolahkan anak yang masih rendah. Di sisi lain, ketersediaan fasilitas di beberapa daerah juga masih minim sehingga anak membutuhkan waktu lama menuju sekolah yang lokasinya jauh.

Wajib belajar

Suyanto mengatakan, melihat tingginya angka putus sekolah, terutama di kalangan siswa SMP/MTs, program wajib belajar sembilan tahun memang tidak mudah diterapkan. Padahal, tahun 2008 merupakan tahun terakhir pencapaian target penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun.

Menurut dia, sampai akhir 2007, angka partisipasi murni SD/MI sederajat sebesar 94,90 persen. Angka partisipasi murni adalah rasio murid SD berusia 7-12 tahun terhadap penduduk kelompok umur 7-12 tahun.

Adapun angka partisipasi kasar SMP/MTs sederajat sebesar 92,52 persen. Angka partisipasi kasar adalah rasio jumlah siswa yang sedang sekolah di tingkat pendidikan tertentu terhadap jumlah penduduk kelompok usia tersebut.

Menurut Suyanto, hingga saat ini masih terdapat 111 kabupaten/kota yang belum menuntaskan wajib belajar sembilan tahun.

Persoalan lainnya adalah terkait minimnya sarana yang sangat berhubungan dengan kualitas pendidikan. Misalnya, masih terdapat sekitar 200.000 ruang kelas SD yang rusak dan 12.000 ruang kelas SMP yang rusak. Di tingkat SMP/MTs, sebanyak 34,3 persen sekolah belum mempunyai perpustakaan dan 38,2 persen sekolah tidak memiliki laboratorium.



Tidak ada komentar: